Selamat datang di BLOG PRIBADI MARZUKI. Blog ini adalah catatan Marzuki Bersemangat disela-sela aktivitas. TEMAN-TEMAN BLOGER NGAWI MARI KITA TUKAR IDE MEMAJUKAN KOTA NGAWI. Dulur-dulur semua, bagi yang ingin mengirimkan tulisan bisa dikirimkan ke komen. atau via email marzuqqi@yahoo.co.id

Selasa, 28 April 2009

Marzuki Menjawab : Kontroversi Tentang RA Kartini pada

http://muhsinlabib.wordpress.com/2009/04/22/kontroversi-kartini-kita/

Menjawab Kontroversi I

pemikiran RA Kartini adalah lebih banyah terinspirasi oleh buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multaluli “Max Havelar” dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di eropa dan banyak bergaul dengan kalangan terpelajar. Perihal, naskah asli atau manuskrip memang tidak diketahui tapi bukan berati adalah manipulasi.

Menjawab Kontroversi II

RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat adalah merupakan paksaan dari kedua orangtuanya bukan atas kemauan sendiri dan RA Kartini menerima dengan lapang dada ketika ia dinikahkan dan suaminya justru digunakan sebagai alat untuk mengimplementasikan visi dan misinya yang pada gilirannya dibangunkan sekolah oleh suaminya.

Menjawab Kontroversi III

Ma'lum, RA Kartini memang masih relatif muda ketika ia meninggal, 25 tahun merupakan usia muda untuk ia mengembangkan perjuangannya yang universal maka mau tak mau dan harus kita acungkan jempol.

Menjawab Kontroversi IV

RA Kartini berbeda dengan; Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Emmy Saelan atau Christina Mautha Tiahahu. RA Kartini dianggap ide-idenya menyeluruh secara nasional karena mengandung sesuatu yang universal.

Menjawab Kontroversi V

Lebih patut dihargai adalah RA Kartini wahuwa bisabqin khaizun jamila karena lebih dahulu lahir daripada Dewi Sartika.

Menjawab Kontroversi VI

RA Kartini lahir pada 21 april 1879 merupakan sebuah keistimewaan baginya karena telah memberikan ide-ide nasionalis yang universal.

Rabu, 22 April 2009

Marzuki : SEBUAH GAMBARAN PASCA PILEG 2009

Mencoba berbicara tentang banyaknya caleg yang frustasi akibat tidak bisa menerima kekalahan dalam pileg (baca: pilihan legislatif) kemarin. Ini bukti akibat betapa rendahnya mental bangsa kita. Saya mendengar tadi siang di Radio, bahwa jumlah pasien di RSJ Solo meningkat 40 %. Sungguh meningkat drastis. Banyaknya caleg yang frustasi ini karena tidak adanya pertimbangan yang matang dalam menentukan langkah dan ini namanya sikap posotif yang kurang perencanaan yang detil. Pun patut pula bagi mereka tidak menjadi caleg. Seumpama ia menjadi legislatif maka banyak program yang tidak terealisasi secara optimal dikarenakan kurangnya mental sebagai pemimpin. Frustasi sendiri sebenarnya adalah ketidakterimaan atas suatu hal karena merasa tak sanggup mencapainya dan pemimpin kita tidak pantas mempunyai watak seperti itu.

“Halah………….. ngapain pergi ke TPS, wong ndak dapat apa-apa” ucapan ini sering kita dengar ditengah-tengah masyarakat dan masih banyak sekali ucapan yang senada. Pesimisme masyarakat yang beranggapan percuma memilih pemimpin yang tidak bisa membawa aspirasi mereka. Pula ini reaksi dari rendahnya mental masyarakat kita. Optimismisme masyarakat indonesia mulai terkikis yang padahal adalah negara yang demokratis. Pemimpin adalah ditangan rakyat bukan rakyat ditangan pemimpin. Bisa ditebak masyarakat kita tidak mau di pimpin oleh manusia sendiri dan itu cuatan dari ketidak percayaan terhadap diri sendiri.

Sistem money politic telah mengakar di masyarakat kita. Disebuah masyarakat pedesaan atau perkotaan ketika mereka memilih Lurah tak lepas dari memberi uang kepada warga ini contoh miniatur negara kita. Kalau memang itu sebagai ganti uang lelah kenapa harus ada massage “Bapak nanti kalau pilih saya sandalnya dicopot saja ya..”.

Marzuki : Fatalnya Sebuah Perbedaan Persepsi

Pernah saya membaca dalam salah satu blog. Lupa saya URL nya. Ada sebuah cerita tentang dua anak yang bernama Sutono dan Sutopo adiknya. Mendapat dua wasiat dari Bapaknya tapi karena terjadi perbedaan persepsi, sungguh besar perbedaan mereka dalam status sosial setelah besar. Dua wasiat tersebut yang pertama adalah “Nak janganlah kau pernah menagih hutangmu dan jangan pula kau ketika bekerja terkena sinar matahari” Kata Bapak. Dua wasiat tersebut dipegang teguh sampai ia besar. Setelah kedua anak itu besar Sutono kaya dan Sutopo miskin. Bapak mereka sudah lama meninggal hanya tinggal ibunya yang masih hidup. Perbedaan ekonomi yang sangat tajam ternyata menyulut pertanyaan tersendiri bagi ibunya. Ketika dua anaknya berkumpul kesempatan itu tak dilewatkan Ibu yang telah memendam pertanyaan bertahun-tahun. “maaf ya nak, sebenarnya saya sudah lama memendam pertanyaan ini, daripada saya meninggal dengan penasaran, lebih baik kutanyakan sekarang” Kata Ibu “Sutopo sebenarnya apa sih yang membuat kamu miskin, kok jauh dengan kakakmu Sutono?”

“Bu, dulu Bapak pernah berpesan pertama jangan pernah menagih hutang, jadi saya tidak pernah menagih hutang-hutangku sehingga modalku habis dan pesan yang kedua dari Bapak adalah ketika bekerja jangan sampai terkena sinar matahari jadi setiap saya berangkat kerja uang saya habis untuk naik taksi” Jawab Sutopo.

“la….kamu Sutono kok bias kaya”? Tanya Ibu.

“Begini bu, ya sebenarnya sama dengan Topo saya kaya lantaran menuruti pesan dari Bapak bahwa jangan pernah nagih hutang, jadi saya tidak pernah menghutangkan modal dagangku pada orang lain kecuali orang memang dapat kupercaya. Pesan kedua dari Bapak jangan pernah ketika bekerja terkena sinar matahari, maka tokoku kubuka sebelum matahari terbit ba’da Shubuh dan tutup setelah terbenam matahari ba’da Isya’ ,bu”. Jelas Sutono

kisah diatas adalah penggambaran perbedaan persepsi dari sebuah pesan dari sang Bapak kepada anaknya. Pesan yang sama tapi memberi dampak yang sangat tajam dalam perkembangannya. Sebuah persepsi benar ternyata penting. Analisa sebuah pesan, wacana dll diperlukan analisa sebelum kita pegang erat.

Kita boleh fanatik dan menganut aliran apapun. Terlepas hanya sekedar ikut atau memang observasi. Terlebih penting adalah mari kita bangun sebuah persepsi yang benar dalam diri kita. Dimana letak kebenaran? Kebenaran terletak pada hati nurani masing-masing, bukan pada golongan, partai, aliran, organisasi tertentu.